Senin, 30 November 2009

25 November 2009 adalah hari guru yang ke-64. Tentu ada sebuah harapan besar di hari ulang tahun guru ini. Harapan besar itu adalah bersatunya para pendidik dalam satu wadah organisasi yang bernama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Suka atau tidak suka PGRI adalah satu-satunya organisasi pendidik yang diakui pemerintah, dan hari kelahiran PGRI kita peringati sebagai hari guru. Mungkin anda perlu membaca sejarahnya di sini.

Tentu ada banyak kritik membangun yang ingin disampaikan kepada pengurus PGRI di hari guru ini. Lebih fokus dalam program kerjanya dan senantiasa amanah dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pengurus. Bila terlalu sibuk, atau tak punya waktu mengurus organisasi PGRI lebih baik mundur saja jadi pengurus, masih banyak orang yang mau menjadi pengurus PGRI. Sebab PGRI diharapkan menjadi tempat berlabuhnya para guru dalam mengatasi problematika yang dihadapinya dan menjadi corong untuk perbaikan nasib guru, terutama nasib guru honorer yang tidak jelas statusnya di berbagai daerah. Gajinyapun masih dibawah UMR seorang buruh.

PGRI diharapkan tidak menjadi organisasi yang mandul, yang hanya membesarkan nama pengurusnya saja, tetapi para anggotanya tidak pernah merasakan kebermanfaatan dari adanya PGRI. PGRI harus mampu mengangkat harkat dan martabat guru itu sendiri, dan menjadikan para guru sejahtera, bermartabat serta profesional di bidangnya masing-masing.

Patut dicatat, keberadaan PGRI hingga kini belum mengakar kebawah dan masih banyak guru yang belum merasakan kebermanfaatan adanya organisasi ini. Apalagi guru-guru yang berplat hitam atau swasta yang nampaknya masih belum tertangani secara kekeluargaan pendekatannya, sehingga wajar bila pada akhirnya hari guru ditanggapi dingin. Sedingin es di kutub utara. Mereka masih beranggapan bahwa PGRI hanya milik orang-orang tertentu di negeri ini, dan menjadikan PGRI sebagai kendaraan politik agar menduduki suatu jabatan di pemerintahan. Bahkan seringkali terjadi rasa iri, sebenarnya PGRI ini milik guru yang mengajar di sekolah atau dosen di perguruan tinggi? Lalu ada yang berkata, khan dosen juga guru, padahal kalau kita lihat kamus dan UU, guru dan dosen jelas berbeda. Bukankah sebaiknya para dosen membuat saja organisasi baru yang bernama Persatuan Dosen Seluruh Indonesia?

Ada juga tudingan yang mengatakan bahwa PGRI tidak akan pernah mengakar selama para dosen di perguruan tinggi tidak turun gunung mencerahkan sekolah-sekolah kita. Hanya asyik di singgasana keilmuwannya dan takmau berbagi. Tri darma pergurun tinggi hanya simbol tanpa arti.

Semoga saja dugaan itu tidak benar, dan semoga saja PGRI di bawah pimpinan Prof. Dr. Sulistyo lebih baik dari kepengurusan sebelumnya. Kita berharap PGRI bisa menjalankan fungsinya untuk menjadi pemersatu guru dalam wadah organisasi. Bravo PGRI, dan perbaiki kinerjamu di negeri ini! Sehingga tak ada lagi guru yang mencibir, PGRI???, apaan tuh????!

Mari di hari guru ini, kita sama-sama instropeksi diri dan tak menyalahkan orang lain. Mari kita bahu membahu dan saling melengkapi agar guru menjadi profesi yang dirindukan, dan diminati oleh generasi penerus bangsa ini. Bersatulah wahai Para Pendidik di hari guru!

Selasa, 10 November 2009










HARI PAHLAWAN ADALAH BERJIWA REVOLUSIONER
Adalah penting dalam menghayati arti Hari Pahlawan, kita semua mencermati bahwa Bung Karno adalah satu di antara sejumlah tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia yang paling menonjol (dan paling banyak!) dalam mengangkat arti para pahlawan dalam perjuangan pembebasan bangsa. Ini tercermin dalam banyak halaman buku beliau “Di bawah Bendera Revolusi”, dan juga dalam pidato-pidato beliau. Bung Karno menjadikan Hari Pahlawan sebagai sarana untuk mengingatkan . kepada seluruh bangsa (terutama angkatan muda) bahwa sudah banyak pejuang-pejuang telah gugur, atau mengorbankan harta-benda dan tenaga mereka, untuk mendirikan negara RI. Mereka rela berkorban, supaya kehidupan rakyat banyak bisa menjadi lebih baik dari pada yang sudah-sudah. Mereka berjuang dalam tahun-tahun 20-an, dan selama revolusi kemerdekaan 45, untuk menjadikan negara ini milik bersama, guna menciptakan masyarakat adil dan makmur.
Jadi, menghayati secara benar-benar Hari Pahlawan adalah berarti menghubungkannya dengan revolusi bangsa. Dan seperti yang sudah ditunjukkan oleh sejarah kita, revolusi bangsa Indonesia adalah pluralisme revolusioner. Dalam perjalanan jauh (long march) yang berliku-liku ini berbagai tokoh golongan masyarakat ( dari berbagai suku, keturunan, agama dan aliran politik) telah menyatukan diri dalam barisan panjang revolusioner kita.
Dengan latar-belakang pandangan sejarah yang demikian itu pulalah kiranya kita bisa mengerti mengapa Bung Karno menerima usul Sumarsono untuk menjadikan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan. Sedangkan Sumarsono sendiri, yang menjadi pimpinan tertinggi PRI di Surabaya waktu itu, adalah seorang pemuda yang masa kecilnya mendapat pendidikan Kristen, dan setelah besar mempunyai hubungan erat dengan gerakan di bawah tanah PKI. melawan kolonialsime Belanda dan fasisme Jepang (lewat jaring-jaringan Mr; Amir Syarifuddin, pelukis Sudjoyono, tokoh PKI Widarta dan lain-lain)..
Dari ketinggian pandangan revolusioner yang demikian itulah kita sepatutnya memandang arti penting Hari Pahlawan. Jadi, tidak cukup hanya dengan pengibaran bendera dan nyanyi--nyanyian atau pidato-pidato yang isinya kosong atau steril saja Upacara-upacara memang tetap perlu dikerjakan, namun yang lebih penting adalah memberi isi dan jiwa kepada hari keramat ini.
Mengingat situasi yang begini buruk dewasa ini (ingat : dampak peristiwa bom di Bali, hubungan internasional yang memburuk, investasi yang menurun, utang yang makin menggunung, pengangguran yang makin membengkak, pelecehan terus-menerus terhadap hukum dan HAM, korupsi yang tetap merajalela) , adalah kewajiban moral angkatan muda dari berbagai golongan, keturunan, suku, agama, dan aliran politik untuk menjadikan jiwa Hari Pahlawan.sebagai senjata guna berjuang melawan pembusukan besar-besaran ini. Sebab, kelihatannya, kita sudah tidak bisa menaruh harapan lagi kepada berbagai angkatan yang telah ikut mendirikan Orde Baru, dan juga yang merupakan produk (didikan) kultur buruk ini.
Jiwa yang sudah pernah dimanifestasikan oleh angkatan muda secara gemilang dalam tahun 1998 dalam menumbangkan kekuasaan Suharto, perlu dipupuk dan dikobarkan terus, dalam bentuk-bentuk baru, sesuai dengan perkembangan situasi. Dalam perlawanan terhadap Orde Baru telah jatuh korban-korban. Mereka adalah bagian dari sederetan panjang pahlawan, yang kebanyakan tidak dikenal. Karena telah mengorbankan diri untuk melawan sistem politik dan kediktatoran yang telah membikin banyak kerusakan parah terhadap bangsa dan negara selama puluhan tahun, maka sudah sepatutnyalah bahwa mereka kita pandang sebagai pahlawan pendobrak Orde Baru.
Hari Pahlawan harus sama-sama kita kembalikan kepada peran (dan pesannya) yang semestinya. Ini adalah tugas utama bangsa kita, termasuk dari kalangan pendidikan dan sejarawan. Angkatan muda harus dididik untuk menghayati benar-benar semangat pengabdian kepada rakyat dan pengorbanan diri demi kepentingan nusa dan bangsa. Kalangan sejarawan (dan pendidikan) perlu sekali meninjau kembali buku-buku sejarah dalam sekolah-sekolah, sehingga generasi muda kita mengenal sejarah bangsa secara benar (ingat : pemalsuan yang memblingerkan : serangan 1 Maret dan pendudukan 6 jam di Jogya oleh Suharto dan pemalsuan-pemalsuan sejarah lainnya).

;;